Hari Pertama
Ngantuk. Jam 5 pagi sudah jalan dari rumah. Wangi lemon dari mobil Uber Pak Andi membuat saya tetep terjaga sampai gambir. Jalanan Jakarta seperti biasa, ramai kendaraan yang menuju kantor walaupun masih pkl. 05.00. Bener banget Jakarta ini kota yang tak pernah tidur.
"Mas ojek mas?". Itu sambutan para tukang ojek setibanya saya di Gambir. Yah bang baru sampe masa sudah ditawarin suruh pulang lagi hehe. Sambil menolak halus saya masuk ke Indomaret untuk membeli kopi dan duduk di pinggiran depan Indomaret . Masih satu jam lagi baru boleh masuk ke ruang tunggu. Saya habiskan waktu membaca buku sampai akhirnya suara dari pengeras suara memanggil agar saya cepat naik ke ruang tunggu kereta. "Wira, Wira, cepat naik ke ruang tunggu.". Ngayal!
Setengah jam kemudian kereta Argo Dwipangga pun tiba. "Wangi apa ini ya?", pertanyaan pertama saya waktu masuk kereta. Berpadu dengan suhu dingin di dalam kereta, kesan pertama saya kereta ini cukup 'segar'. Kereta bersih dan tempat duduk pun nyaman. Embun di kaca jendela saya membuat saya susah melihat ke luar. Dingin, jaket terpaksa dipakai terus. Lagu-lagu yang diputar pun bernuansa Jawa Tengah ditambah dengan turis asing yang cukup banyak di gerbong saya semakin membuat tidak sabar tiba di Solo.
Saya langsung mencoba membayangkan kereta wisata milik PT. KAI yang katanya mewah. Hmm. Pasti enak jalan-jalan sekeluarga naik kereta wisata. Suatu saat.
Kereta pun berangkat. Sekitar setelah dua jam perjalanan cuaca di luar hujan. Saya pun termenung melihat keluar jendela, "Hugo lagi ngapain ya?", tiba-tiba teringat anakku yang pasti nyari deh karena tadi saya tinggalkan dia masih tidur. Sambil mendengarkan lagu "Over My Shoulder" dari Mike and The Mechanics, saya membayangkan nanti kalau Hugo sudah agak besar saya pasti akan sering bawa dia jalan-jalan.
Dan tiba-tiba saya terbangun. Lho saya ketiduran tadi ternyata haha, perut keroncongan membangunkan saya. Saya lalu ke restorasi yang terletak antara gerbong-4 dan gerbong-5. Restorasinya bersih dan pelayanannya ramah. Saya memesan nasi goreng bakso dengan kopi panas. Sambil menunggu datangnya makanan sambil melihat turis asing di sebelah saya yang seru sekali bermain boardgames. Makanan pun datang. Kemasan makanan bagus, rapih, bersih. Rasa makanannya pun lumayan, hanya saja porsinya kurang besar hehehe.
Kembali ke tempat duduk dan saya pun tertidur kembali hingga terbangun beberapa saat sebelum tiba di Stasiun Solo Balapan.
SELAMAT DATANG DI KOTA SOLO
Berangkat tepat waktu, tiba pun tepat waktu. Salut untuk PT. KAI. Pada saat kereta melambat, terlihat di luar jendela semua pernak-pernik peringatan hari Kemerdekaan. Hmm, saya tak sabar untuk segera mencari momen-momen perayaan kemerdekaan di kota ini.
Setelah kereta berhenti, turun dari kereta, saya pun bergegas keluar untuk mencari becak. Setelah Pak Edi, pemilik becak, setuju dengan harga Rp. 20.000,- sampai Hotel Amarelo, saya pun naik ke atas becaknya. Entah itu mahal atau murah harga segitu?. Setelah mengucapkan terima kasih dan berpisah, saya langsung check-in.
Kamar yang lumayan besar, tempat tidur king size, lantai dan meja bersih, lemari pun bersih, kesan pertama saya akan hotel ini cukup baik. Hanya sempat ada satu masalah yaitu toilet kamar saya tidak bisa di flush, tapi langsung diperbaiki setelah saya telepon room service. Respon yang cepat.
Lihat jam masih pukul 17.30, saya ingin ke Alun-alun Kidul. Setelah bertanya kepada satpam hotel arah menuju sana saya pun segera berjalan. Kenapa jalan kaki? Ya selain menghemat, saya ingin lihat-lihat kota Solo di malam hari. Cukup jauh memang, karena saya jalan perlahan, saya tiba sekitar 45 menit kemudian. Huff. Pegel juga ya hahaha.
ALUN-ALUN KIDUL
Tiba di Alun-alun Kidul saya berhenti sejenak menonton anak muda dan beberapa anak-anak sedang 'setting' Tamiya. Berjalan sedikit dan saya mencium bau sesuatu yang dibakar dan perut saya bunyi minta diisi. Ternyata bau tersebut dari Sate Bakso Bakar. Saya pun memesan 6 tusuk. 1 tusuk harganya Rp. 1.000,-. Hah? Rp. 1.000,-? Yup, jangan kaget, harga makanan di Jakarta yang kemahalan kayanya hahaha.
Pedas dan manis. Kombinasi favorit saya. Bibir panas karena pedas tapi karena manis minta nambah. Pas. "Tambah 4 tusuk lagi ya mas Yatno". Mas Yatno, penjual bakso bakar ini bukan asli Solo, tapi dari Ngawi. Setelah lulus SMP pindah ke Solo untuk berdagang makanan.
Apabila suka dengan keramaian dan jajanan serta hiburan-hiburan rakyat, tempat ini wajib dikunjungi. Banyak tikar-tikar tempat lesehan untuk sekedar minum atau makan-makan ringan. Odong-odong dengan lampu kelap-kelip pun disewakan apabila mau seru-seruan dengan keluarga atau pun teman atau gebetan.
"Mas Agus harus dateng lagi pas 1 Suro, kebo-kebo bule diarak mas barengan pusaka-pusaka", begitu kata Mas Yatno. Kebo bule? saya bingung. "Kebo yang mana mas?", tanya saya. Kebo Bule Kyai Slamet, begitu sebutan orang-orang terhadap kerbau-kerbau yang ada di sekitar Keraton, adalah pusaka penting milik Keraton. Hewan kesayangan Paku Buwono II ini adalah pemberian dari Kyai Hasan Beshari Tegalsari Ponorogo yang diperuntukkan sebagai cucuk lampah, semacam pengawal atau pembuka jalan dari iring-iringan sebuah pusaka keraton yang bernama Kyai Slamet.
Ada cerita, waktu Paku Buwono II ingin mencari lokasi keraton yang baru, leluhur kebo-kebo bule yang ada sekarang dilepas dan diikuti jalannya oleh para abdi dalem keraton, hingga akhirnya kebo-kebo bule tersebut berhenti di satu tempat yang akhirnya menjadi Keraton Kasunanan Surakarta.
Saya pernah membaca di internet bahwa ritual kirab malam 1 Suro itu berlangsung pkl. 00.00 atau tergantung 'mood' kebo-kebo bule. Orang-orang akan ramai berbondong-bondong mengikuti kirab tersebut. Diyakini, menyaksikan kirab saja akan mendapat berkah. Hmm kayanya perlu datang lagi nih ke Solo untuk melihat kirab ini.
Cukup lama kami ngobrol-ngobrol, mulai dari ngobrolin jajanan, ngobrolin Jokowi, ngobrolin Jogja, ngobrolin Jakarta, sampai akhirnya ya ngobrolin kebo-kebo bule tersebut. Saya tak sadar kalau sudah pkl. 20.00 lewat. Saya harus kembali ke hotel. Ternyata rute yang dikasih satpam hotel tadi jauh, ada rute yang lebih dekat menurut Mas Yatno. Saya pun menyusuri rute yang disarankan, yaitu ke arah Alun-alun Lor / Alun-alun Utara.
30 menit saya pun tiba di hotel. Lebih cepat 15 menit, lumayan :) Setelah mandi saya mau mencoba duduk-duduk minum bir di Rooftop hotel. Cukup enak di atas, tidak terlalu ramai. Saya bersantai sambil nyicil ngetik blog ini dan setelah bosan saya pun nonton video-video musik di Youtube (internet di rooftop cepat lho). Mengantuk saya pun kembali ke kamar dan langsung pulas tertidur.
Hari kedua
Alarm handphone membangunkan saya di pkl. 05.30. Saya bergegas mandi dan sarapan. Sarapan saya cukup sederhana, nasi goreng, kopi, dan omelet.
Hari ini hari yang cukup mengecewakan bagi saya. Saya berjalan kaki dari pagi menuju ke Pura Mangkunegaran dan ternyata tutup, baru buka kembali besok. Lalu saya menyusuri Jl. Slamet Riyadi untuk menuju ke Taman Sriwedari dan tutup juga. Lalu saya ke Museum Radya Pustaka pun ternyata tutup. Bodohnya saya yang kok gak kepikiran kalau museum-museum memang biasanya tutup pada hari besar. Saya masih beranggapan mereka akan buka setengah hari.
Akhirnya dengan perasaan kecewa, saya berjalan kaki ke arah hotel dan makan di Sate Kambing Pak Manto. Wah ini sate kambing paling enak yang pernah saya makan. Dagingnya empuk, ada mericanya ditabur di atasnya. Lengkap dengan daun kol dan bawang merah. Kombinasi yang enak banget. Musti dicoba kalau ke Solo, terutama pencinta daging Kambing.
KAMPUNG DAWUNG TENGAH
Setelah kenyang, saya tadinya memutuskan untuk kembali ke hotel saja, mau istirahat sebentar lalu sore jalan lagi. Tapi di tengah jalan saya teringat saya pernah lihat di internet bahwa ada satu kampung di Solo ini yang merayakan 17 Agustus dengan cara mencat batik jalan-jalan dan dinding di satu RT-nya. Karena penasaran saya cari di google map dan ternyata cukup jauh, sekitar 3 KM, setengah jam berjalan kaki. Di perempatan Jl. Veteran dan Jl. Gatot Subroto tiba-tiba terasa malas karena lelah, rasanya ingin belok kiri dan pulang saja ke hotel dan saya benar-benar belok kiri menuju hotel. Mata benar-benar sudah mengantuk. Cuma entah kenapa seperti ada yang keras bilang di kepala saya, "Agus muter lah, nanggung lho, ntar nyesel." Ah yasudahlah akhirnya saya berbalik badan dan menuju ke Serengan untuk mencari Kampung Dawung Tengah. Saya berjalan dan berjalan mengikuti google maps dan akhirnya dari kejauhan sudah tampak jalan dan dinding yang sudah warna-warni. Akhirnya sampai, pikir saya.
Tiba di Kampung Dawung Tengah, saya minta ijin berfoto-foto dengan bapak-bapak disitu, lalu tiba-tiba dia ke satu rumah, "Pak RT, pak RT, ada tamuuuu". Walah, dia panggil pak RT dan pak RT pun keluar dengan celana pendek dan baju tangan buntung warna hijau. Wah saya pikir pak RT-nya sudah tua, ternyata masih muda. Tersenyum ramah dan saya ditawari minum, kami pun berbincang-bincang. Ternyata Pak Otoy senang sekali bercerita dan saya pun senang sekali mendengarkan beliau bercerita, beliau bercerita bagaimana proses terjadinya kegiatan gotong-royong menyambut kemerdekaan dengan cara yang unik ini. Lalu datang juga beberapa warga disitu untuk ngobrol-ngobrol. Pak Otoy pun menawarkan saya untuk foto salah satu 'spotlight' muralnya dari atas genteng rumah warga disitu. Setelah minta ijin dengan pemilik rumah saya pun naik menggunakan tangga dan manjat sedikit. Seperti biasa, kalau di ketinggian kaki saya pasti basah dan gemetar, tidak lama-lama saya di atas haha.
Beliau menjelaskan mulai dari pokemon, game gawai populer yang mewakili anak-anak sekarang, ada mural yang menggambarkan permainan engklek yang mewakili anak-anak tempo dulu dan batik yang mewakili kota Solo. Saya mendapat kehormatan dijamu makan gudeg yang luar biasa enak di rumah Pak Otoy. Saya merasa sangat disambut padahal saya justru merasa saya sudah mengganggu waktu istirahat beliau.
Sebelum pamit, saya pun mengambil foto beliau dan berfoto bersama. Saya pasti akan mengunjungi rumah beliau apabila saya dikasih kesempatan kembali lagi ke Solo. "Harus berani bikin yang beda", pesan terakhir dari pak Otoy sebelum kami pun berpisah. Kalimat itu terngiang terus di kepala saya pada saat saya berjalan kaki kembali ke hotel. Sampai bertemu lagi Pak :)
Setelah berjalan kaki kurang lebih 30 menit akhirnya tiba di hotel. Langsung mandi dan beristirahat sebentar. Tidak lama teman saya Reyner kontak bahwa dia mau ajak saya keliling untuk kuliner. Wah ayukkk.
Setelah dijemput langsung diajak makan nasi liwet Bu Wongso Lemu Asli. Warung nasi lesehan di Jl. Teuku Umar. Wah benar-benar 'berasa' nuansa Jawa-nya. Penyajian tradisional dengan pincuk atau daun pisang yang dilipat seperti kerucut. Ayam opor yang disuwir, ati dan ample ayam, telur kukus, lalu ditambah dengan santan kental favorit saya. Wah rasanya luar biasa, wajib ke sini ya kalau ke Solo, jangan lupa!
Lalu kami melanjutkan perjalanan ke warung Wedangan Pak Di. Saya memesan sate babi, kekian goreng, dan siomay babi serta minum wedang jahe tentunya. Wah rasanya anget bener. Warung wedangan Pak Di ini wajib dicoba lho, cuma ya berhati-hati bagi teman-teman muslim, ada beberapa menu yang terbuat dari daging babi. Setelah makan kami langsung menuju warung susu Pak Toyo yang terletak di sekitar Mangkunegaran untuk mencoba susu segar. Hmm. Enak banget dah malam-malam minum susu segar sambil ngobrol-ngobrol pinggir jalan. Di Solo banyak sekali warung susu buka pada waktu malam hari, pokoknya selama berjalan di solo jangan takut kehabisan stok susu segar malam hari hehe.
Sudah lama teman saya ini bercerita tentang ayahnya, seorang kolektor vinyl / piringan hitam dan hobi audio hi-fi. Mumpung saya di Solo, Ia mengajak saya ke rumahnya untuk berkenalan dengan Ayahnya. Wah sebagai penikmat musik tentunya saya tidak menolak dong. 5 jam saya habiskan waktu di sana hingga pkl. 03.30. Perjalanan saya kali ini lengkap sekali ternyata, perut, mata dan kuping terpuaskan. Luar biasa. Tiba di hotel, mandi, dan langsung terkapar tidur.
Hari ketiga
Hari ketiga saya bangun agak terlambat karena tidur kemarin cukup larut. Setelah sarapan dan ngaso-ngaso sejenak, sekitar pukul. 10.00 saya berjalan kaki menuju Pasar Tri Windu, jarak dari Amarelo Hotel hanya sekitar 15 menit berjalan santai. Pasar Triwindu terletak di daerah Ngarsopuro, buka pkl. 08.00 s/d pkl. 17.00.
PASAR BARANG ANTIK TRIWINDU
Bau barang-barang antik pun menyambut. Banyak barang menarik disini, mulai dari keris kuno, lampu antik, topeng-topeng, kain batik, koin-koin kuno, gramafon dari eropa, sepeda tua, radio, dan masih banyak lagi. Tapi yang menarik bagi saya adalah cap batik, sudah cukup lama saya ingin kasih buat ibu saya, akhirnya setelah membeli saya minta tolong dipaketkan ke Jakarta. Sayang waktu saya sempit sehingga saya sebentar saja disini. Bagi yang suka barang antik, sediakan waktu cukup lama disini biar puas melihat-lihat.
KERATON KASUNANAN SURAKARTA
Keluar pasar, saya langsung berjalan mencari becak untuk menuju Keraton Surakarta. Masuk Keraton Surakarta cukup terjangkau, Rp. 10.000,- saja untuk tiket masuk dan Rp. 50.000,- untuk pemandu selama di dalam. Keraton hanya buka dari pkl. 08.30 - 14.00 (Senin - Kamis), pkl. 09.00 - 15.00 (Sabtu - Minggu), Jumat libur. Jangan lupa selama di dalam Keraton untuk menggunakan sepatu, celana panjang, serta membuka topi / penutup kepala dan kacamata hitam. Apabila menggunakan sandal anda terpaksa melepaskannya dan bertelanjang kaki selama di dalam dan apabila menggunakan celana pendek abdi dalem akan meminjamkan kain batik jarik. Let's go :)
Pemandu saya, Pak Hastoto, sangat jelas menceritakan semua sejarah Keraton, kalau saya kurang mengerti Ia menjelaskan berulang-ulang. Ia menjelaskan dimulai dari pohon Sawo Kecik atau sering disebut juga dengan pohon Sarwa Becik yang artinya pohon serba baik yang berada di taman keraton yang berjumlah 77 buah. Angka 7 adalah angka baik menurut suku Jawa. 7 dalam bahasa Jawa adalah Pitu dan dikaitkan dengan konsep Pitulungan yang berarti pertolongan. Suasana taman ini sangat adem, angin sepoi-sepoi dan sinar matahari tidak terlalu bisa masuk karena dihalangi pohon Sawo Kecik. Rasanya pengen duduk-duduk saja bersantai disini. Adem.
Setelah itu Ia menjelaskan juga mengenai sejarah menara Sangga Buwana. Sangga berarti penyangga, Buwana berarti bumi, jadi berarti Menara Penyangga Bumi. Menara 5 tingkat setinggi kira-kira 30 meter ini selain berfungsi untuk memata-matai Belanda di Benteng Vastenburg juga berfungsi sebagai tempat semedi Raja Solo serta tempat bertemu dengan Ratu Kidul. Dulu ada mitos kalau bangunan di Solo tidak boleh lebih tinggi dari menara Sangga Buwana ini karena akan berakibat terjadinya hal-hal tidak diinginkan, tetapi sekarang ini tak terhitung lagi bangunan-bangunan tinggi di Solo.
Setelah itu Ia menjelaskan juga mengenai sejarah pendopo besar yang terletak dekat dengan Sangga Buwana. Sasana Sewaka atau Sasono Sewoko yang jika diartikan satu per satu, Sasana berarti tempat, Sewaka berarti menghadap, yang artinya adalah Tempat Menghadap. Saya sangat takjub melihat patung-patung pemberian Yunani yang berdiri mengililingi Pendopo ini. Tidak itu saja, lantai pendopo ini pun pemberian dari daerah Carrara, Italia dan tiang-tiang penyangga pendopo itu yang berwarna biru adalah pemberian dari kota Den Haag, Belanda. Luar biasa.
Lanjut masuk ke dalam museum, Ia menjelaskan terperinci satu per satu semua yang ada disitu. Banyak sekali hal-hal yang membuat saya takjub, terutama bagaimana budaya dari Tiongkok sangat mempengaruhi bentuk benda-benda seputar istana seperti kereta kuda dan tandu (ada simbol naga di beberapa tandu), arsitektur bangunan seperti masjid, juga sampai ke hal-hal simbolik seperti warna. Ia memberi contoh warna Samir (semacam selendang kalung yang mereka gunakan saat memandu). Warna Merah dan Kuning pada Samir menurutnya dipengaruhi dari budaya Tiongkok.
Menyusuri semakin dalam museum di dalam Keraton banyak juga barang-barang, patung-patung sampai dengan senjata dengan berbagai jenis baik itu hasil rampasan dari tentara Belanda maupun milik kerajaan. Wah tangan saya tak berhenti nulis di buku notes sambil foto-foto, banyak sekali pengetahuan baru yang saya dapatkan berkunjung disini.
Terakhir sebelum berpisah, saya menanyakan satu pertanyaan, "Pak, kenapa banyak warna biru ya di keraton?"
Pak Hastoto menjelaskan bahwa selain untuk menolak hal-hal yang tidak baik, warna biru adalah warna angkasa dan langit. Simbol pandangan yang luas dan pemberi maaf. Warna biru juga sering digunakan pada saat mereka bermeditasi. Warna biru adalah warna Keraton Kasunanan Surakarta.
Setelah mengucapkan terima kasih dan berpisah dengan Pak Hastoto saya kembali naik becak untuk menuju Kampung Batik Kauman. Tapi sebelum ke Kauman, saya minta ke Pak Warsino agar menuju ke sekitar dinding keraton dimana saya melihat banyak sekali pintu dan jendela berwarna biru. Saya memang sudah kepikiran dari awal sebelum ke keraton, kenapa banyak sekali warna biru.
Kenapa saya tidak ke Pasar Klewer belanja batik? Satu kelemahan fatal saya, tidak pintar nawar! Jadi daripada tarik urat dan saya pasti kalah, lebih baik saya bertanya ke beberapa orang kenalan saya yang sudah pernah ke Solo dan juga dari internet untuk cari tempat belanja batik yang oke. Dari beberapa orang menyarankan Kampung Batik Kauman karena harganya sudah cukup murah. Jadilah saya kesini untuk membeli beberapa batik untuk Hugo dan istri saya serta keponakan-keponakan saya.
Kuliner lagi
Setelah belanja saya kembali ke hotel untuk menaruh belanjaan, mandi dan beristirahat sebentar sambil minum kopi. Tidak lama Reyner kembali menghubungi melalu whatsapp.
Pertanyaannya cuma satu kata, "Jajan?"
Saya jawab, "iya dongggg"
Dan saya pun dijemput.
Tujuan pertama adalah Sumber Bestik Pak Darmo. Beef steak atau bestik seperti yang dilafalkan oleh orang Solo adalah daging sapi yang dicincang dan dimakan dengan kuah. Jangan lupa pakai cabe rawit potongnya ya. Wah enaknya bukan main, pedes tapi pengen nambah terus, ditambah lagi ada bestik lidah dan kulit goreng. Saya habiskan sampai tetes kuah terakhir saking enaknya. Ditambah lagi sambil makan ada alunan grup musik keroncong, makin kental nuansa Solo nya :)
Pas mau pesan kopi sehabis makan, Reyner bilang, "Eh jangan, habis ni gua mau ajak lu ke tempat ngopi." Oo ya sudah pikir saya, penasaran juga tempat kopi di Solo karena dari awal tiba disini saya belum melihat coffee shop.
Tiba di Ngopi Serius di daerah Badran. Wah tempatnya bagus juga dan pilihan kopinya lengkap, segala kopi dari penjuru Indonesia disini tersedia. Tapi dasar Batak, yang saya pesan kopi Mandailing juga hehe. Satu gelas kopi Rp. 12.000,-. Kopi kental memang favorit saya. Tempat ngopi ini layak dikunjungi apabila ingin bersantai dan mencicipi berbagai macam kopi Nusantara.
Puas ngopi dan ngobrol-ngobrol langsung cari makan malam. Hore. Saya diajak makan Timlo Kwali Ayam Kampung. Letaknya di sekitar Mangkunegaran. Wah ini pertama kali saya makan Timlo dan rasanya enak, apalagi dimakan pada saat masih panas-panas, wuih. Bagi yang suka makanan berkuah seperti saya, pasti suka Timlo ini.
Kenyang. Berikutnya diajak ke tempat yang modern, Double Decker Casual Dining. Wah kaget juga liat tempat ini, di depan gedung ada Double Decker 'nyangkut' hehe lalu waktu masuk ke dalam disambut bau rokok tentunya dan lagu-lagu yang dibawakan live oleh home band Double Decker. Interiornya yang bergaya Amerika di tahun 50-an ditambah poster-poster super hero DC semakin menambah keunikan tempat ini. Tadinya kami duduk di lantai satu namun karena musik yang terlalu keras volumenya kami terpaksa pindah ke lantai 3 agar kami bisa santai berbincang-bincang. Kami kesini cuma sekedar mau santai dan menghabiskan waktu saja. Setelah puas berbincang-bincang saya pun diantar pulang, packing, dan siap tidur untuk siap berangkat ke Wonogiri.
KESAN SAYA AKAN KOTA SOLO
Sebenarnya tidak ada peristiwa, saran, rujukan, apalagi paksaan kenapa saya harus ke Solo untuk perjalanan kali ini. Cuma karena penasaran saja. Bisa melihat kota asal Presiden RI-7 Bpk. Ir. Joko Widodo merupakan sebuah pengalaman yang berkesan untuk saya.
"Solo The Spirit of Java", begitu bunyi slogan Solo Raya (meliputi Surakarta, Boyolali, Sukoharjo, Karanganyar, Wonogiri, Sragen, dan Klaten). Benar-benar terasa dari pertama kali saya tiba di kota ini. Dari bahasa tubuh, corak-corak gambar, warna, bentuk-bentuk yang saya lihat sepanjang saya berjalan kaki, apa yang saya cicipi seperti makanan dan minuman, apa yang saya dengar seperti musik, bahasa, serta dialek, semuanya terasa bahwa masyarakat Solo Raya sangat menjaga warisan budaya mereka. Transportasi dari yang paling 'kuno' seperti becak sampai dengan yang modern seperti Railbus Batara Kresna pun saling sapa-menyapa harmonis di Jl. Slamet Riyadi.
Gang demi gang yang saya lalui selalu saja ada hal-hal menarik yang bisa saya lihat, tidak ada yang sama, entah itu warna, patung-patung, tulisan-tulisan, dan lain sebagainya. Dari apa yang saya lihat, tidak ada yang dibuat-buat di kota ini, semua apa adanya, bersahaja.
Kota Solo ini sepertinya akan menjadi kota yang ngangenin. Sampai bertemu lagi kota santun yang berkesan. Saya pasti akan kembali lagi.
Yak, mata sudah 5 watt. Markitdur!
Wira Siahaan