Terbangun dari tidur dan leher terasa sakit. Tidur dengan posisi duduk benar-benar gak enak. Pkl. 07.00 baru boleh masuk ke ruang tunggu kereta api, masih setengah jam lagi. Dari pkl. 04.00 saya sudah tiba di stasiun Solo Balapan ini. Lagu "Setasiun Balapan" dari Didi Kempot kemarin malam masih bergema rasanya. Pkl. 01.30 kami jalan dari Suru Kulon menuju Solo, diajak makan soto sebentar lalu saya pun di drop di stasiun ini. Kepagian sih, tapi tak apa, daripada terlambat. Ngapain sih saya ke Suru Kulon? Begini ceritanya.
2 hari 1 malam di Dukuh Suru Kulon benar-benar pengalaman yang seru sekali. Sebenarnya tidak ada rencana khusus untuk ke desa ini, cuma karena teman saya dan adik manggung di acara penutupan Festival Pager Desa yang diadakan desa tersebut, jadilah saya ikut.
Saya menumpang mobil grup adik saya, dijemput di depan Double Decker pkl. 10.00, kami pun langsung menuju Suru Kulon. Perjalanan memakan waktu sekitar 2 jam. Di perjalanan banyak hal menarik saya lihat, tapi yang paling menarik bagi saya itu Waduk Gajah Mungkur. Kayanya harus kesitu lain kali.
Wonogiri terletak di atas bukit, sesuai arti namanya 'hutan di atas bukit', jalan berkelok-kelok dan menanjak mengingatkan saya akan jalan menuju Puncak Pass, bedanya ya gak ada yang jual jagung bakar dan jajanan-jajanan khas Puncak Pass. Sedangkan Suru Kulon tujuan kami adalah pedukuhan di desa Minggaharjo, kecamatan Eromoko.
Siang hari panas cukup terik, sepertinya badan saya mulai terasa aneh, panas tepat dari jendela saya, tapi badan sebelah kanan dingin terkena AC mobil. Untung berhenti sejenak karena mas Burhan mau sholat Jumat, jadi kami bisa bersantai di rumah makan sebelahnya untuk makan siang.
Memasuki Kecamatan Eromoko, jalan terlihat menyempit. Lalu tidak lama terlihat sawah kiri dan kanan, hmm sudah masuk areal pedesaan pikir saya. "Lihat menara merah putih itu ndak mas?" tanya mas Burhan. "Kita kesitu, satu-satunya desa yang ada menara Telkomsel, kalo hoki dapet 4G juga mas." Wow, mantep juga. Setelah jalan berkelok-kelok dan melewati beberapa dukuh, akhirnya kami tiba di Suru Kulon.
Kami numpang menginap di rumah 'Mamak', begitu biasanya warga disini memanggil ibu yang punya rumah, saya bertanya-tanya tidak ada yang tahu namanya, akhirnya saya pun ikut memanggil 'Mamak'. Rumahnya nyaman sekali, dikelilingi pohon-pohon tinggi dan di luar ada semacam pondokan kecil untuk tidur-tidur dan lesehan.
Saya menarik nafas dalam-dalam, kapan ya saya terakhir menghirup udara segar seperti ini. Lihat ke atas langit biru hampir tanpa polusi.
Setelah merapihkan barang kami segera menuju panggung utama yang terletak di areal ladang tembakau yang sangat luas. Karena salah satu mata pencaharian utama desa ini adalah menjadi petani tembakau, tidak heran banyak tembakau dikeringkan di kiri-kanan selama perjalanan menuju panggung utama. Sambil berjalan kami mendengar kerbau berkata "helooooow" pas kami lewat, bukan, bukan, itu khayalan saya aja haha. Suara anak-anak ayam yang bersahut-sahutan mengejar induknya. Suara daun-daun terkena angin. Suara sapu lidi yang sedang digunakan membersihkan pekarangan salah seorang ibu di depan rumahnya sambil mendengarkan siaran radio berbahasa jawa. Wah asik banget dah. Saya suka disini.
Tiba di depan pintu utama sudah terlihat gapura untuk penyambutan tamu-tamu besok. Masuk mengikuti jalan terlihat sekali warga dan karang taruna desa ini semangat sekali mempersiapkan acara ini. Pondok-pondok kecil berjejer di sebelah kiri jalan utama dipersiapkan untuk kuliner khas desa ini. Diujung jalan sebelah kiri sebelum photobooth terdapat semacam cafe lesehan dimana kita bisa memesan susu dengan berbagai rasa dan 'nongkrong' lesehan. Di ujung pertigaan terdapat simbol acara Pager Desa.
Ke kanan lah tujuan kami, sedikit ke bawah jembatan besar terdapat jembatan kecil terbuat dari bambu. Di seberangnya terdapat sebuah rumah yang sudah ramai warga berkumpul. Kami pun makan siang di rumah ini, sambil menonton latihan kolaborasi anak-anak desa dan para ibu. Semangat sekali saya lihat latihan ini, penuh keceriaan dan seperti tidak sabar untuk tampil besok malam.
Sedikit obrolan dengan mas Umang, anak dari 'mamak', pemilik rumah tempat kami menginap, rumah tempat kami makan siang ini adalah rumah pertama yang ada di desa ini, jadi rumah yang sangat mereka jaga sejarahnya. "Saya dah wanti-wanti temen-temen biar gak ada yang keceplosan ngomong kotor di rumah itu", kata mas Umang.
Senang sekali rasanya saya melihat banyak sekali anak-anak kecil antusias mengikuti setiap kegiatan, entah itu menonton latihan band, atau bantu-bantu persiapan lainnya. "Save Our Children" menjadi tema Festival Pager Desa tahun ini. Dimana mereka menginginkan agar kekerasan terhadap anak, sodomi, seks bebas, terutama tontonan-tontonan tidak bermutu agar dihentikan. Menurut mas Umang, pada saat usia 12-14 tahun, anak-anak desa diwajibkan mengikuti karang taruna desa untuk diberikan pelatihan ketrampilan dan diajarkan bekerjasama. "Kalau mereka sibuk kan ndak sempat narkoba atau buat yang aneh-aneh mas.", tambah mas Umang.
Selesai mengikuti semua kegiatan, karena badan ini sudah cukup lelah, kami pun kembali ke rumah. Di tengah perjalanan ada suara dari belakang saya memanggil, seorang ibu-ibu. "Mas sini masss, foto daun tembakau di dalam." Lho, saya dan teman saya Broto dengan sukarela balik badan. "Ini lho mas kalau mau foto-foto, kita lagi misah-misahin daunnya."
Bapak dan Ibu Sagiman sedang melakukan sortasi terhadap daun-daun tembakau. Daun-daun yang agak muda (immature) dipisahkan dengan daun-daun yang kurang tua (unripe), daun tua (ripe), dan daun yang sudah rusak. Sortasi ini dilakukan untuk memudahkan proses pengeringan (curing), serta grading setelah pengeringan. Bapak dan Ibu ini pun menawarkan jika pulang nanti jangan lupa ambil tembakau dari situ hehe. Karena kami sudah sangat lelah, kami pun minta ijin kembali ke rumah.
Kami pun beristirahat hingga akhirnya dibangunkan sekitar pkl. 18.00. Nah disini saya cukup kaget, siang yang tadi panas terik sekarang mulai terasa dingin dan setelah mandi saya terpaksa menggunakan jaket. Kembali berjalan-jalan ke arah panggung utama teringat pesan pemilik rumah kami agar mencicipi masakannya di stan makanan jalan utama. Wah beda sekali suasana jalan utama ini jika dibandingkan dengan siang hari. Obor-obor kecil menghiasi sepanjang jalan ditambah lagi hari ini sedang bulan purnama penuh, dengan kondisi hampir tanpa polusi seperti di kota besar, rasanya cahaya bulan ini cukup menerangi desa ini. Banyak orang-orang berjalan masuk dari desa-desa tetangga dan tidak sedikit juga yang dari kota-kota sekitar yang datang. Bahkan saya melihat ada beberapa orang asing yang datang. Wah suasananya saya suka sekali, total beda dengan di kota. Tepat sekali sebutan Festival Terbesar se-Wonogiri karena jalanan desa semua penuh sesak.
Kami pun tiba di 'booth' makanan 'mamak', "Ceker Judes" nama booth-nya. Langsung pesan 5 potong, pedas dan manis. Wahhh gileee, enak bener, 5 potong kurang kami pun menambah 5 lagi beserta sate bakso bakar, telur puyuh, dan ati ampela. Suhu dingin ditambah makanan pedas rasanya kok enak banget ya haha. Kenyang. Kami pindah ke depan rumah utama desa tersebut untuk menonton pemutaran film. Sayangnya pada saat kami tiba film sudah hampir habis.
Jeda tidak lama langsung disambung pagelaran wayang guyon dari Solo, Keroncong Wayang Gendut. Tempat langsung penuh sesak karena banyak sekali warga dari desa-desa tetangga datang ke desa ini. Walaupun saya tidak mengerti sedikitpun apa yang dipentaskan oleh grup ini karena berbahasa Jawa, saya menikmati sekali dari awal sampai habis. Sepertinya sangat lucu karena saya melihat semua yang menonton tertawa terpingkal-pingkal dan saya pun otomatis ikut tertawa sambil garuk-garuk kepala. Jadi kepingin belajar bahasa Jawa supaya suatu hari saya mengerti apabila menonton wayang.
Selesai menonton Cong-Way-Dut kami melihat-lihat persiapan di panggung utama, beberapa pengisi acara sudah siap untuk check sound. Sepertinya cukup rumit persiapan di panggung utama, kondisi outdoor dan udara dingin.
Sudah cukup larut malam dan suhu semakin dingin. Kami memutuskan kembali ke rumah untuk istirahat. Tak terasa kami sudah menghabiskan waktu 6 jam. Kami tidur di ruang tengah rumah, enak sekali suasananya. Saya melihat ke atas ke kiri ke kanan. Semua sangat sederhana. Dibandingkan dengan kehidupan kami di kota yang kehidupan rata-rata orangnya semua serba lebih kok jadi malu sendiri ya. Menghayal-menghayal lama-lama tertidur.
Hari berikutnya
Kokok ayam jantan di belakang rumah kami, depan rumah kami, samping rumah kami, serentak membangunkan saya. Ya ampun dinginnya pagi-pagi disini. Gimana mau mandi kalau kaya gini coba. Setelah memaksakan diri mandi, langsung ke rumah utama desa untuk sarapan pagi. Menu pagi ini adalah Oseng Sambel Ijo. Yang tadinya ngantuk berat langsung mata terbelalak saking pedasnya. Sebagai pencinta pedas jadinya nambah terus deh pas makan.
Setelah selesai makan tibalah perlombaan memasak antar pengisi acara. Masing-masing harus mengirimkan 3 delegasi dari grupnya untuk mengikuti lomba masak. Setelah semua peserta berkumpul, tata cara lomba pun dibacakan, menu yang dilombakan pun akhirnya diberitahukan. Masing-masing grup harus membuat kembali menu sarapan kami tadi pagi. Pintar sekali! Yang tidak sarapan menyesal deh hahaha. Jurinya adalah para ibu yang sudah membuat sarapan tadi pagi. Acara berlangsung seru, meriah, lucu. Semua tertawa melihat cara para seniman ini memasak, kelihatan sekali ada yang jago masak dan ada yang benar-benar masuk dapur saja tidak pernah hehehe. Setelah acara lomba selesai dan pemenang pun diumumkan, langsung masuk acara bebas karena para pengisi acara harus check sound di panggung utama.
Saya kembali ke rumah untuk packing barang karena selesai acara tengah malam nanti kami harus segera menumpang kembali ke kota Solo. Selesai packing saya habiskan waktu bersantai sambil membaca buku di pondokan dibawah pohon besar di depan rumah. Kapan lagi bisa bersantai dan menikmati lingkungan seperti ini. Walaupun saya seorang travel photographer, saya bukan tipe yang saat travel terus-terus pegang kamera dan foto segalanya. Saya meluangkan waktu, menahan diri dan membiarkan kamera tetap di tasnya. Saya berhenti sejenak untuk memberi diri saya waktu menikmati alam ataupun suasana kota/desa dimana saya berada. Saya percaya setiap tempat ada jiwa yang khas. Setiap kota / desa / tempat ada semacam roda penggerak yang tak terlihat yang membuat tempat itu 'hidup'. Untuk merasakan roda tersebut bergerak, saya merasa saya harus berhenti, duduk tenang sambil ngopi-ngopi, dan biarkan hati dan pikiran kita terbuka. Pernah sekali waktu saya beserta dua fotografer teman saya, Kevin dan Rian, ke daerah Sawarna, Banten untuk hunting landscape, tetapi di hari terakhir pada saat sunset kami memutuskan untuk masukkan kamera, pesan kopi, ngobrol-ngobrol sambil menikmati matahari tenggelam, langit memerah berubah menjadi biru keungunan hingga akhirnya malam gelap. Magical :)
Sekitar pkl. 16.30, mas Umang masuk rumah dan saya pun terbangun. Karena mengantuk di pada waktu di pendopo, saya pindah ke dalam rumah untuk tidur. Menunggu magrib saya dan mas Umang ngobrol-ngobrol seputar desa dan karang taruna desa hingga akhirnya handphone mas Umang berbunyi dan ia harus segera kembali ke panggung utama.
Panggung utama sudah ramai dengan warga yang ingin menonton. Setiap orang cari posisi sendiri untuk menonton karena tidak ada batasan atau pagar yang menghalangi. Semua orang duduk seadanya saja di atas ladang tembakau ini.
Waktu menunjukkan pkl. 19.00, Tanya Ditaputri, bersama Broto dan adik saya Dhani siap membuka acara di panggung utama. Dilanjutkan dengan Fay Ehsan dari Indonesia Mencari Bakat 3. Jajaran pengisi acara sangat menarik dan unik, ada Keroncong Orchestra, Malinke Percussion, Prisha Sebastian, Swasticore, Victory Voice, dan acara ditutup oleh penampilan Didi Kempot. Luar biasa acara ini mengingat acara ini diselenggarakan di sebuah desa yang cukup jauh dari kota besar. Semoga ke depannya akan banyak acara-acara seperti ini tersebar di seluruh penjuru Indonesia.
Satu hal yang membuat saya cukup sedih karena kamera saya rusak di tengah-tengah acara, sehingga banyak pengisi acara tidak sempat saya foto, terutama penampilan Didi Kempot. Akhirnya saya menghabiskan waktu duduk di semacam cafe lesehan di ujung jalan utama sambil minum kopi dan memandangi bintang bertaburan dan full moon yang sangat terang.
Tidak lama setelah acara selesai, sekitar pkl. 01.30 kami harus menumpang mobil mas Ucil dan mbak Andre ke kota Solo. Setelah berpamitan dengan 'mamak' dan seluruh panitia, kami pun segera menuju kota Solo. Hampir mendekati kota Solo mas Ucil dan Mbak Andre mengajak kami makan di "Soto Ayam Pinggir Ndalan Soto Masih" yang terletak dekat pasar di sekitar Stasiun Solo Balapan. Wah soto ini sih enak banget, kuahnya bening. Katanya buka hanya pkl. 02.00 - 05.00 pagi. Kami makan sambil ngobrol-ngbrol santai sambil menunggu mendekati subuh baru akhirnya mengantar saya ke Stasiun Solo Balapan.
Setelah 3.5 jam menunggu akhirnya kereta Argo Lawu pun tiba. Tidak jauh berbeda dengan Argo Dwipangga, hanya berbeda di toiletnya yang sudah berbentuk toilet duduk. Setelah kereta berjalan meninggalkan kota Solo, pasang earphone sambil mendengarkan lagu, baru deh terasa badan ini lelah sekali, mata belum begitu mengantuk cuma lelah badan tak bisa dibohongin. 5 hari 4 malam yang cukup padat bagi saya, pengalaman yang begitu berharga, berkenalan dengan orang-orang baru, pengetahuan sejarah yang baru, semuanya dalam tempo singkat membuat saya bingung harus bercerita darimana pada saat menulis blog ini.
Sudah beberapa kota di Jawa Tengah ini saya jalani dalam beberapa tahun ini, baik urusan pekerjaan foto wedding maupun sekedar berjalan-jalan. Semakin dijalani semakin terasa kurang. Masih banyak yang belum ter-explore di provinsi ini dan semakin saya baca-baca di blog-blog semakin saya penasaran. Saya sangat bersyukur kepada Tuhan dilahirkan di negeri ini dengan segala keindahan alam dan keberagaman budayanya.
Kereta ini bisa lebih cepat gak ya, tak sabar rasanya ingin bertemu istri dan anakku di rumah, banyak yang mau diceritakan. Sampai bertemu di perjalanan berikutnya. :)
Perjalanan saya ke Suru Kulon ini adalah bagian dari perjalanan saja ke Solo. Untuk membaca cerita saya di kota Solo bisa klik button di bawah ini.
Terima kasih sudah membaca.
Wira Siahaan