Saya Bukan Street Photographer

Apa itu ketakutan? Ketakutan adalah suatu respon emosi kita terhadap ancaman. Ancaman yang bisa terjadi, bisa tidak terjadi. Intinya ancamannya belum terjadi. Itulah alasan utama saya tidak berani motret di jalan atau istilah kekiniannya, nyetrit. Saya tidak biasa menghadapi orang dan susah dekat dengan orang. Jangankan motret orang secara langsung di jalan, baru memikirkan untuk motret di jalan saja sudah tidak nyaman.

Puri Park View, Pesanggrahan, Jakarta.

Untuk mendapatkan foto-foto urban dan bergaya cyberpunk, sebuah konsep photo project saya, saya harus motret di jalan dan malam hari. Motret di jalan saja sudah sulit, ditambah lagi dengan malam hari. Makin gak nyaman.

Banyak ketakutan saya, contohnya:

  1. “Gimana nanti kalau saya dimarahin orang?”

  2. “Gimana nanti kalau saya dipalak?”

  3. “Gimana nanti kalo saya disamperin preman?”

  4. “Orang-orang situ curiga gak ya gua mondar-mandir pegang kamera?”

  5. “Foto-foto kaya gini orang suka gak ya? Kalau nanti saya dihina gimana?”

Dan masih banyak lagi ketakutan lainnya yang kalau saya tulis disini jadi terlalu panjang.

Gelora Bung Karno, Jakarta.

Melawan Takut

“Lalu kenapa akhirnya berani Wir?”, tanya seorang teman setelah saya ceritakan.

Jawab saya, “Karena mimpi gua lebih besar dari takutnya.”

Supaya lebih jelas, karena mimpi saya besar tidak lantas takutnya hilang. Bukan impian = 10, takut = 8, lalu 10 - 8 = 2. Bukan begitu. Takut dan mimpinya sama-sama masih ada, saling berkelahi di dalam. Jadi saya menyusuri jalanan, memotret dengan rasa takut. Setiap kali tekan shutter, ya takut. Rasanya ingin cepat pulang, tetapi saya bertahan tidak pulang. Saya lawan takutnya.

Little Tokyo, Blok M Square, Jakarta.

Courage is resistance to fear, mastery of fear, not absence of fear.
— Mark Twain

Ketakutan jangan dikasih kesempatan bersarang di kepala, harus cepat-cepat disingkirkan. Cara saya adalah beri kesempatan impian saya mengambil alih. Impian saya adalah eksibisi kecil tunggal / duet dengan teman di tengah tahun 2019. Saya ingin pameran foto, karena saya suka berkarya dan ingin memperlihatkan hasil cetak foto-foto saya ke saudara-saudara, teman, kolega, dan orang-orang yang belum saya kenal. Jadi saya bayangkan semua hal-hal positif yang akan saya dapatkan apabila mimpi itu terlaksana. Saya ingin anak saya melihat apa yang ayahnya kerjain.

Jadi, boro-boro mikir komposisi, wong ngelawan takutnya aja udah pusing.

Sudirman, Jakarta.

Yang saya rasakan lagi adalah badan ini emang kurang penurut, kalau saya ikutin takutnya, ya saya tidak akan pernah motret. Harus paksa diri. Saya memulai photo project ini di tanggal 7 Desember 2018 dan sejauh ini saya setiap malam motret kecuali ada beberapa hari yang tidak memotret karena berhalangan jadwal. Bahkan hujan pun saya tetap motret kecuali hujan yang sangat deras disertai angin kencang. Safety first.

 

Kebon Jeruk, Jakarta, 00:00 2019.

 

Lalu yang saya alami dan cukup membantu adalah kenali kelemahan kita dan langsung cari solusinya. Saya tipe orang yang mudah terganggu. Apabila saya mengalami ejekan / hinaan, saya akan down berhari-hari. Untuk itu saya butuh pribadi-pribadi yang siap membawa saya kembali semangat. Saya mengelilingi diri saya dengan orang-orang yang kira-kira sedang mengejar hal yang sama dan kami saling mendukung. Untuk sementara saya menjauhi segala sesuatu yang negatif, karena sadar, saya mudah sekali terpengaruh.

Tanjung Gedong, Tomang, Jakarta.

Yang tidak kalah penting juga, saya tidak mengambil hati sosial media, terutama Instagram. Instagram bagi saya adalah mini diary. Tempat saya posting foto-foto yang setiap saat saya bisa lihat perkembangannya. Jadi bagi saya, likes dan comments itu bonus saja. Banyak bagus, sedikit ya tidak apa. Banyaknya likes dan komentar-komentar positif tidak berpengaruh apapun terhadap karya saya dan demikian sebaliknya, banyak likes dan comments pada foto orang tidak berpengaruh apa-apa terhadap saya. Tidak ada rasa iri.

Instagram juga tempat saya melatih banyak hal, contohnya adalah konsistensi, misalnya yang sederhana adalah konsisten jam posting. Lalu, latihan komentar pada foto orang, dikenal maupun tidak. Jujur, mau komen saja saya selalu merasa tidak nyaman, jadi saya paksa saja karena saya menganggap ini juga salah satu latihan walaupun sederhana.

Muara Angke Fish Market, Jakarta.

Setelah semua usaha di atas apakah ketakutan tersebut sudah sepenuhnya hilang? Wah jelas belum, saya masih terus berusaha. Mungkin tidak akan bisa hilang sepenuhnya, mungkin juga hilang sepenuhnya. Yang bisa saya lakukan cuma konsisten motret hingga akhirnya photo project ini selesai dan sepertinya setelah project ini selesai pun, saya tetap bukan seorang street photographer.

Jakarta, 2019

Wira Siahaan