Tur Sejarah Bogor Bersama Jakarta Good Guide

"Ni ke stasiun jakarta kota yang beos kan ya?", tanya driver UBER kami pada waktu kami baru meninggalkan rumah.  "Iya beos pak", kata saya.  Mungkin banyak yang belum tahu atau lupa asal mula kata BEOS yang menjadi sebutan bagi stasiun dan cagar budaya berusia 87 tahun ini.

Ada dua kepanjangan dari BEOS, yang pertama adalah Bataviasche Ooster Spoorweg (BOS) Maatschapij atau dalam bahasa Indonesia Maskapai Angkutan Kereta Api Batavia Timur, perusahaan swasta yang menghubungkan Batavia dengan Kedunggedeh.  Karena dilafalkan Be-O-S akhirnya lama-kelamaan masyarakat terbiasa menyebutnya dengan Beos.

Karena fungsi stasiun ini sebagai pusat transportasi kereta api yang menghubungkan Kota Batavia dengan kota Bekassie (Bekasi), Buitenzorg (Bogor), Parijs van Java (Bandung), Karavam (Karawang), dan kota lain, maka muncullah kalimat Batavia En Omstreken (Batavia dan sekitarnya), disingkat BEOS.

Kemegahan stasiun bergaya Indis (Het Indische Bouwen) ini dirancang oleh seorang arsitek Belanda kelahiran Tulungagung, Johan Louwrens Ghijsels.  Biro arsitek AIA (Algemeen Ingenieur Architectenbureau) yang didirikannya bersama teman-temannya juga lah yang merancang gedung Departemen Perhubungan Laut di Medan Merdeka Timur, Rumah Sakit PELNI Petamburan, dan Rumah Sakit Panti Rapih di Yogyakarta.  

Walking Tour kami dimulai disini, kami tiba pukul 06.55, terlalu nge-pas dengan waktu yang diumumkan, kami sepertinya sudah ditinggal.  Kami beli tiket dan mencoba menelepon ke nomor Jakarta Good Guide, menurut yang menjawab telepon meeting point-nya di depan Starbucks.  Kami lihat ke Starbucks yang ada cuma seorang foreigner yang juga sepertinya kebingungan, tidak lama saya sapa dan bertanya apakah dia juga ikut tur Jakarta Good Guide, katanya iya dan dia juga bingung karena tidak ada siapa-siapa.  David yang berasal dari Amerika Serikat ini kebingungan dan akhirnya saya temani untuk membeli tiket kereta dan kami pun berlari ke kereta jurusan Bogor yang sudah hampir berangkat.  

Mata anak kecil memang gak bisa bohong kalau lagi excited.  Berbinar-binar dan terus-menerus melihat ke luar kereta.  Saya sendiri heran, padahal dia sudah berkali-kali naik kereta tapi kok tetap excited.  "Papa, keretanya bisa lebih cepet lagi gak?", tanya Hugo berulang-ulang.  Gerbong kereta bersih sekali dan tempat duduk juga bagus, ditambah lagi cukup dingin di gerbong, mungkin karena masih sepi, perjalanan 1.5 jam terasa nyaman sekali.  Two thumbs up for PT. KAI!


STASIUN BOGOR


Akhirnya kami tiba di Stasiun Bogor dan langsung menuju depan Dunkin Donuts untuk berkumpul dan bertemu dengan pemandu kami, Hans.  Setelah berkumpul, Hans langsung menjelaskan rute walking tour dan langsung dimulai dengan bercerita sejarah berdirinya stasiun Bogor ini. 

Stasiun Buitenzorg (nama awal Stasiun Bogor) dibangun tahun 1872 oleh Staatsspoorweegen (SS) sebagai titik akhir jalur Batavia-Buitenzorg.  SS adalah sebuah perusahaan KA milik Pemerintah Hindia-Belanda yang akhirnya dinasionalisasikan menjadi Djawatan Kereta Api Republik Indonesia (DKA), cikal bakal PT Kereta Api Indonesia (PT KAI).  Setelah membangun Stasiun Bogor, pada tahun 1881-1883 SS membangun jalur KA Bogor-Sukabumi hingga pada tahun 1887 terhubung dengan Stasiun Tugu Yogyakarta.

Setelah cerita sejarah singkat, Hans langsung mengajak kami untuk menuju Taman Topi yang terletak di samping stasiun Bogor ini.  Keluar stasiun cukup padat manusia, naik tangga penyeberangan sebentar dan turun lagi untuk ke trotoar yang sempit dan cukup padat manusia berlalu-lalang.  Waktu menunjukkan sekitar pkl. 09.00, matahari mulai terasa cukup terik padahal langit sebagian gelap seperti akan turun hujan.  Tiba di Taman Topi, Hans langsung mencari spot untuk menjelaskan sejarah singkat Taman Topi dan perjuangan Kapten Muslihat.


TAMAN TOPI


Taman Wilhelmina, begitulah nama Taman Topi ini pada era penjajahan Belanda yang diambil dari nama Ratu Belanda saat itu.  Tempat ini dibangun sebagai tempat cuci mata dan santai-santai tamu-tamu yang berkunjung ke Buitenzorg waktu itu. 

Menurut cerita yang saya dengar dari beberapa orangtua teman-teman saya yang tinggal di Bogor, taman ini dulunya luas sekali.  Banyak perombakan terjadi hingga akhirnya berbagi dengan Taman Ria Ade Irma Suryani.  Tetapi kemudian Taman Ria ini pun akhirnya harus dibagi lagi untuk sebagian menjadi Plaza Kapten Muslihat yang dibangun untuk mengenang jasa pahlawan bogor Kapten Tubagus Muslihat yang gugur pada saat memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.


GEREJA KATEDRAL BOGOR


Setelah selesai dari Taman Topi kami pun terus berjalan mengikuti trotoar hingga akhirnya tiba di persimpangan dimana banyak angkot ngetem dan kami harus menyeberang.  Tidak jauh setelah itu kami pun tinggal menyeberang dari depan gedung DPRD Bogor hingga tiba di Gereja Katedral Bogor.  Bangunan gereja ini tidak mungkin terlewatkan dari pinggir jalan, bangunan warna putih besar yang sangat mencuri perhatian karena megahnya.  

Gereja ini sudah cukup tua, berdiri secara resmi di tahun 1889, diawali dari sebuah rumah dengan pekarangan yang luas.  Fungsi awalnya hanya sebagai tempat peristirahatan dan Misa Kudus tamu-tamu dari Jakarta.  Lalu sekitar 1886 dimulailah karya pastoral pendiri Gereja ini, Mgr. AC. Claessens, Pr dan Pastor MYD Claessens, Pr., dengan mendirikan panti asuhan untuk anak-anak yang kapasitasnya waktu itu hanya bisa menampung 6 orang anak.  Waktu terus berjalan hingga akhirnya pada tahun 1961 status Gereja ini menjadi Paroki Katedral Bogor.


KANTOR WALIKOTA BOGOR


Setelah berfoto bersama di depan pintu gereja dan saya mengambil sedikit stok foto, kami melanjutkan perjalanan menuju Kantor Walikota Bogor.  De Societeit adalah tempat clubbing pada masa Hindia Belanda.  Dibangun tahun 1868, diperuntukkan untuk para sosialita dan selebriti Bogor pada waktu itu berkumpul.  Tapi jangan disamain ya dengan clubbing masa kini, clubbing masa itu sangat eksklusif, para Meneer dan Mevrouw menggunakan busana eropa terbaik mereka dan melantai dengan alunan musik panggung, bukan DJ hehehe.  De Societeit ini bertahan selama kurang lebih 60 tahun dan berubah menjadi Kotapraja (Staads Gemeente), lalu berubah menjadi Markas Komando Resort 061 / Surya Kencana yang membawahi Bogor, Sukabumi, dan Cianjur, lalu pada akhirnya di tahun 1971 dialihfungsikan menjadi Kantor Walikota.  Sayangnya di dalam lagi ada acara sehingga kami hanya bisa berkumpul di depan pintu masuk Walikota ini.


HOTEL SALAK


Tidak jauh dari Kantor Walikota Bogor ini, berjalan sedikit kami tiba di sebuah hotel bernama Hotel Salak The Heritage.  Cukup menarik sejarah Hotel ini ternyata.  Binnenhof Hotel, itulah nama Hotel ini ketika pertama kali dibangun pada tahun 1856.  Lalu di tahun 1900 karena berganti kepemilikan hotel ini berganti nama menjadi Dibbets.  Lalu sekitar 13 tahun kemudian berganti nama kembali menjadi NV American Hotel.  Karena NV American Hotel bangkrut, pada tahun 1922 kembali lagi berubah menjadi Dibbets Hotel.  10 tahun kemudian di tahun 1932, terinspirasi dari panorama Bogor yang begitu indah dan mempesona, ditambahkan kata Bellevue di depan nama Dibbets, sehingga menjadi Bellevue Dibbets Hotel.  Sayang sekali pada masa pendudukan Jepang, hotel ini berubah fungsi menjadi markas Kempetai.  Barulah di tahun 1948, setelah penyerahan penuh ke Indonesia, hotel ini berubah nama menjadi Hotel Salak.  Bukan salak buah-buahan, tetapi salak disini diambil dari bahasa sansekerta yang berarti perak, jadi Hotel Salak berarti Hotel Perak.

Cukup banyak peristiwa bersejarah yang disaksikan oleh hotel ini, sehingga ditambahkanlah kata The Heritage pada nama hotel ini, Hotel Salak The Heritage.  Untuk mengenang sejarah hotel ini, restoran yang terdapat di dalam hotel ini bernama Binnenhof Restaurant.  

Menyusuri jalan kami sedikit kami pun menyeberang menuju Istana Bogor.  Banyak penjual wortel disini, Rp. 5.000 / 3 ikat.  Kami beli 3 ikat dan biarkan Hugo bermain-main dan memberi makan rusa.  Senang sekali dia bisa memberi makan rusa-rusa ini.  Lalu berjalan lagi, cukup jauh mengikuti pagar istana bogor ini, kami pun tiba di Gereja GPIB Zebaoth.  


GEREJA GPIB ZEBAOTH


Gereja ini dikenal dengan "Gereja Ayam" karena terdapat patung ayam jantan di puncak menaranya.  Pentahbisan gedung gereja ini dilakukan pada tanggal 30 Januari 1920 dengan nama Köningin Wilhelmina Kerk.  Gereja yang termasuk Benda Cagar Budaya ini semula dikhususkan bagi jemaat Eropa, sedangkan untuk jemaat pribumi diharuskan kebaktian di gereja lain.  Pada tahun 1948, gereja ini dialihkan dari Belanda kepada Sinode GPIB dengan nama Jemaat GPIB Bogor, barulah di tahun 1985 namanya berubah menjadi Jemaat GPIB Zebaoth.  

Mungkin karena warna merah yang khas, Hugo tertarik sekali berfoto berkali-kali di depan gedung gereja ini sambil memegang wortel sejak tadi.  Masih berharap menemukan rusa di perjalanan haha.

Setelah selesai tur singkat di gereja ini, kami pun pindah ke gerbang sebelah yaitu gerbang masuk ke Museum Kepresidenan Balai Kirti.  Museum yang dibangun atas gagasan Bapak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ini diharapkan akan memberikan inspirasi bagi masyarakat, khususnya generasi muda agar mampu mengisi kemerdekaan dengan hal-hal yang memberikan dampak positif bagi bangsa dan negara.  Untuk itulah museum ini 'menceritakan' karya dan prestasi Presiden RI pertama hingga yang ke-enam dalam upaya membangun Indonesia. 

Tidak banyak yang bisa saya ceritakan disini karena saya tidak masuk ke dalam.  Mungkin setelah masuk ke dalam suatu hari nanti saya bisa menceritakan secara detil.  

Kami melanjutkan berjalan ke lokasi terakhir untuk piknik yaitu Kebun Raya Bogor, asiiik :)


KEBUN RAYA BOGOR


Tiket masuk ke Kebun Raya tidak mahal, Rp. 15.000 untuk turis lokal dan Rp. 26.000 untuk turis mancanegara.  Saya sendiri sudah lupa berapa kali 'main' ke sini, 10 kali rasanya lebih, sejak SD sampai SMU beberapa kali piknik disini bersama sekolah minggu gereja maupun bersama keluarga. 

Salah satu pohon yang sangat menarik perhatian saya, mungkin karena cahaya yang pas sekali pada waktu itu.

Udara di tempat ini benar-benar segar, ditambah lagi banyak suara canda-tawa anak-anak kecil, suara burung dan daun-daun kena angin, semuanya memang membuat betah walaupun saya hanya duduk di kursi sambil mengamati sekitar.  Bagi yang membawa anak kecil, jangan lupa kulitnya diolesi minyak tawon biar gak digigit nyamuk :).

Tur di Kebun Raya dimulai dari Monumen Olivia Raffles.  Monumen bertiang 8 ini dibangun untuk memperingati Olivia Mariamne Devenish Raffles, istri dari Gubernur Jenderal Thomas Stamford Raffles yang wafat dikarenakan penyakit Malaria.  Lady Raffles dikenal karena reformasi sosialnya di pulau Jawa, dimana waktu itu wanita-wanita kulit putih membatasi diri mereka bergaul dengan orang-orang pribumi, Lady Raffles justru mengadakan resepsi-resepsi dengan undangan orang-orang pribumi.  Ia pun melakukan kunjungan ke penguasa-penguasa lokal yang ada di daerah kekuasaan suaminya.  Pemikiran dan tindakan Lady Raffles sangat sejalan dengan sang suami, Sir Thomas Stamford dikenal sebagai tokoh yang menentang perbudakan.

Monumen ini dibangun karena saking cintanya Sir Raffles kepada Olivia.  Banyak literatur mencatat bagaimana Sir Raffles depresi semenjak kepergian Olivia dan rasa kehilangan itu terasa dari apa yang tertulis di ukiran pada batu di dalam monumen ini.


Oh thou whom neer my contstant heart;
(Kamu yang selalu berada di dalam hatiku)

One moment hath forgot;
(Tak pernah sedikitpun ku melupakanmu)

Tho fate severe hath bid us part;
(Walaupun takdir telah memisahkan kita)

Yet still - forget me not
(Janganlah lupakan aku)


Setelah dari monumen Olivia Raffles kami berjalan menuju lokasi penanaman bunga bangkai.  Amorphophalus titanum nama Latinnya.  Tumbuhan asli Sumatera ini berbeda dengan Rafflesia arnoldi yang sering juga disebut sebagai bunga bangkai.  Sayang sekali pada saat kami tiba bunga ini blum mencapai tinggi maksimum bahkan terlihat masih kecil sekali. 

Melanjutkan tur ke arah Kuburan Belanda tiba-tiba hujan deras.  Karena Kota Bogor ini juga dikenal sebagai kota hujan,  semua peserta tur sudah siap dengan jas hujan dan payung sehingga tur bisa terus dilanjutkan.  Semua peserta tetap semangat dan Hans pun tetap melanjutkan tur ke Kuburan Belanda. 

Kompleks makam kecil ini sering terlewatkan oleh orang-orang yang mengunjungi Kebun Raya Bogor, mungkin karena lokasinya yang tertutup tebalnya rumpun bambu disekitarnya.  Total ada 42 makam di kompleks pemakaman ini, 38 memiliki identitas dan 4 tidak diketahui identitasnya.  Bahkan salah 1 makam yang ada disini usianya lebih tua dari Kebun Raya Bogor.  Makam Cornelis Pothmans berusia 230 tahun, lebih tua 33 tahun dari Kebun Raya Bogor :)  

Bentuk makam bergaya Eropa ini sangat menarik untuk dilihat, saya sendiri setiap kali mampir ke Kebun Raya saya pasti mengunjungi kompleks kuburan Belanda ini, pas sekali ada kursi untuk duduk yang telah disediakan pengelola tepat di hadapan kuburan-kuburan ini.  Sebentar saja untuk duduk beristirahat dan menerka-nerka jalan pikiran orang-orang yang sudah wafat ini pada saat mereka meninggalkan negerinya.  

Bagaimana ya rasanya tinggal jauh dari negeri sendiri? Jauhnya bukan main dari kampung halaman, entah berapa lama mereka baru tiba di Indonesia ini, hidup sampai tua di negeri ini sampai pada akhirnya dikuburkan pun tidak di kampung halaman? 

Atau waktu mereka menginjakkan kaki di Buitenzorg ini mereka sudah tahu bahwa mereka tidak mungkin lagi pulang?  

Ada keluarga mereka yang nunggu gak ya di Belanda? Anak? Istri? Pacar?

Demi apa sih sampai mau nyebrang jauh sekali? Demi negara? Impian pribadi? 

Yang saya dapatkan di hadapan kuburan ini cuma kesunyian dan kesepian.

We are all so much together, but we are all dying of loneliness.
— Albert Schweitzer

Setelah selesai dari Kuburan Belanda tiba-tiba hujan pun berhenti, wah aneh pikir saya.  Kami mengakhiri rangkaian tur di depan Monumen Reinwardt.  Monumen yang didirikan tahun 2006 oleh Kedutaan Besar Jerman ini terletak persis di sebelah Timur Danau Gunting.  Pada waktu melihat tulisan di prasastinya saya heran, "lho kok Kedubes Jerman yang mendirikan ya? Kenapa gak Kedubes Belanda?"  Setelah tiba di rumah saya mencari-cari di internet barulah saya mengerti bahwa Caspar George Karl (CGK) Reinwardt adalah seorang ahli botani dan kimia kelahiran Jerman namun berkebangsaan Belanda.  CGK Reinwardt adalah pendiri Land's Plantentuin, cikal bakal Kebun Raya Bogor.  Pas sekali monumen ini didirikan di samping Danau Gunting yang apabila teratai-teratai di danau ini sedang mekar dan tertiup angin seolah-olah mengangguk hormat kepada Reinwardt atas karyanya.  

Hans pun menutup rangkaian Walking Tour kami dan kami diarahkan ke satu lokasi dimana semua peserta tur akan berkumpul dan kami sama-sama merayakan ulang tahun Jakarta Good Guide yang ke-2 dengan cara memotong tumpeng.  Jakarta Good Guide yang diprakarsai oleh dua pemuda yaitu Farid dan Candha pada tahun 2014.  Sekarang sudah beranggotakan cukup banyak pemandu bersertifikasi yang siap mengantarkan para turis mancanegara berkeliling untuk diperkenalkan kepada sisi historis dari kota Jakarta.  Tarif pembayaran mereka pun cukup unik, yaitu "Pay As You Wish", atau bayar semaunya.  Ayo teman-teman di Jakarta, saya dan keluarga saya, terutama Hugo sangat senang bisa mengikuti Walking Tour ini, tur yang sangat unik karena memperlihatkan sisi kota yang sering kita lewatkan.  Bisa follow akun instagram mereka di @jktgoodguide atau cek langsung ke website mereka.  

Selamat ulang tahun yang kedua dan terima kasih Jakarta Good Guide, kalian memang unik!

Kami pun kembali ke Stasiun Bogor menggunakan jasa Uber, naik kereta turun di stasiun Juanda, naik Uber lagi dan akhirnya tiba di rumah.  Tiba di rumah Hugo langsung berlari cari Ompungboru (nenek) nya cuma mau bilang, "Opuuuuuung, tadi Hugo kasih makan rusa lhooooo."

Terima kasih sudah membaca.

Wira Siahaan