Mengapa Saya Suka Moto?

Suatu pagi anak saya, Hugo, bertanya kepada saya sambil sarapan, "Papa, kenapa sih papa suka moto?" 

DSCF1353.jpg

Saya bingung cara menjawabnya supaya anak umur 3.5 tahun mengerti.  Ceritanya dimulai jauh pada saat saya masih kecil.  Sejak umur 6 tahun saya sudah diperbolehkan ayah saya memegang kamera miliknya, paling tidak sekedar menekan shutter dengan semua setting yang sudah dipersiapkan sebelumnya.  Bawa ke tempat cuci film, besoknya ambil dan melihat hasilnya.  Dari 36 hasil cetak pertanyaan saya selalu bertanya, "Pa, yang Agus foto mana? Ini bukan?"  Wah saya bangganya bukan main, walaupun semua pose dan setting kamera sudah dipersiapkan oleh ayah saya, saya bangga.  Bahagia itu sederhana bukan?

Beranjak saya semakin besar, sekitar kelas 5 SD saya pun dibelikan kamera pocket sendiri.  Saya bawa kemana-mana, terutama pada saat pergi karyawisata bersama sekolah maupun sekolah minggu gereja.  Saya foto segalanya.  Bunga, plafon, ban mobil, teman-teman, langit, guru saya, semuanya.  Pulang kasih roll film ke ayah saya dan beliau yang cuci-cetak-in.  Begitu seterusnya hingga pada saat saya SMU akhirnya kamera SLR Nikon F-801 milik ayah saya pun boleh saya gunakan sesekali. Tak pernah sekalipun ayah saya mendikte saya harus foto seperti apa, beliau membebaskan saja saya mau foto apa saja.  Begitu terus berulang-ulang hingga akhirnya saya pun berhenti moto sekitar tahun 2003 karena pada waktu itu saya memilih berkarir di dunia musik, walaupun sambil bermusik saya tetap moto hanya saja tidak seperti dulu.  Hingga akhirnya pada tahun 2013 akhir saya entah kenapa kangen sekali moto dan atas ijin istri, saya tinggalkan dunia musik secara total, beli kamera digital pertama saya atas saran dari partner kerja saya Kevin dan kami pun memutuskan untuk membuat Rumah Karibu, sebuah jasa fotografi milik kami berdua.

Only photograph what you love.
— Tim Walker

9 tahun sudah berlalu sejak ayah saya meninggal dunia tapi tak sekalipun saya bosan melihat hasil-hasil foto ayah saya yang tersusun rapih dalam album foto.  Ibu saya menyusun semuanya berdasarkan urutan tahun, lokasi, dan event.  Apakah hasil foto ayah saya keren banget? Tidak, ayah saya bukan fotografer profesional dan tidak menghabiskan waktunya untuk moto, tapi tak berhenti-berhenti cerita mengalir dari mulut ibu saya pada saat kami melihat-lihat kembali album foto satu per satu, halaman demi halaman.  "Kok bisa ya?", tanya saya dalam hati.  Fotonya cuma selembar 4R tapi ceritanya bisa sepuluh menit, seolah-olah time travel itu jadi nyata, kami seolah kembali lagi saat-saat momen tersebut diambil.  Terlebih lagi, yang cerita bukan fotografernya, tapi ibu saya.  Disitulah saya menemukan kenapa saya suka fotografi.  Sebuah cerita yang tidak habis-habis apabila difoto dengan penuh perasaan hingga mampu menyentuh hati dan menggelitik pikiran banyak orang.

If history were taught in the form of stories, it would never be forgotten.
— Rudyard Kipling, The Collected Works

Sekarang, kamera saya selain menjadi alat untuk mencari nafkah, yang terpenting bagi saya adalah sebagai alat untuk bercerita pada project-project pribadi saya.  Saya ingin bercerita mengenai momen-momen yang berarti bagi saya, baik itu di rumah, bersama keluarga, sedang travel, dan di banyak kesempatan-kesempatan lainnya dan tentunya semua saya lakukan dengan gaya saya. 


Kenapa mengetahui mengapa kita suka fotografi itu penting?  Menurut saya apabila kita mengetahui alasan kita melakukan sesuatu kita akan:

  1. Melakukannya tanpa paksaan.  Kita akan melakukannya bukan demi pujian atau untuk membuat orang lain terkesan.
     
  2. Melakukannya dengan jujur.  Karya-karya yang kita hasilkan akan menyuarakan apa yang kita rasakan secara pribadi.
     
  3. Pengaturan waktu kita akan semakin baik.  Kita tidak akan menghabiskan waktu untuk menjadi ahli segalanya, hanya mempelajari dan meningkatkan skill yang perlu saja.  Kita pun tidak akan menghabiskan waktu menjadi kritikus dadakan di sosmed, tetapi lebih sibuk mengembangkan kemampuan diri.
     
  4. Tidak terintimidasi dan terhindar dari rasa cemburu akan kesuksesan orang lain dan kita akan terus berjalan di jalur yang kita yakini.
     
  5. Yang terakhir, kita akan lebih sabar, selalu bersyukur, dan memaksimalkan apa yang ada pada diri kita.  Semua keterbatasan kita akan membuat kita semakin kreatif dan tidak mudah putus asa.

Semua cerita ini bersifat pengalaman pribadi dan setiap orang pasti punya pengalaman yang berbeda-beda.  Di lain waktu saya juga akan berbagi cerita mengenai referensi dan idola foto saya yang saya yakin setiap fotografer pasti punya.  :)


Jadi pagi itu saya jawab ke Hugo, "Iya karena papa orangnya tukang cerita, jadi sambil tunjukin foto sama orang ya sambil cerita."

"Ooo, jadi papa ini tukang ya, kaya yang kemarin perbaiki rumah kita ya?" 

Cape deh hahaha

 

Wira Siahaan