Gerabah Plered yang Mendunia

Dibentuk dari tanah liat di sebuah Kecamatan, dinikmati oleh dunia.

Mendengar ada workshop photo story dari infofotografi.com di Plered bersama mas Teguh Sudarisman saya langsung bersemangat. Ada 2 alasan, pertama karena saya kelewatan workshop beliau di Banten dan kedua adalah saya sudah membayangkan serunya ‘moto’ pengrajin gerabah. Sudah saya bayangkan pasti banyak pattern, framing, dramatic light, dan tentunya human interest.  Tidak pikir panjang saya langsung mendaftar.  Dari meeting point di McDonald Sarinah kami berangkat tepat pkl. 06.00, kondisi jalan tol cukup macet karena ada kecelakaan.  Alhasil kami tiba pkl. 09.37 di Workshop Anjun milik Haji Eman.

Mungkin istilah Anjun masih asing di telinga kita.  Menurut Kamus Sanskerta Indonesia. (Dr. Purwadi, M.Hum & Eko Priyo Purnomo, SIP. Budayajawa.com; 2008), anjun adalah tukang membuat gerabah, bahan dari tanah liat.  Jadi nama desa ini adalah Desa Anjun terletak di Kecamatan Plered, Purwakarta, Jawa Barat.  Tidak begitu jauh dari Jakarta, sekitar 113 km atau 3 - 4 jam perjalanan.

Setelah tiba kami langsung mengetuk rumah pak Haji Eman.  Sayang sekali beliau tidak ada di tempat dan kami disambut oleh sang istri.  Setelah meminta ijin untuk meliput barulah kami masuk.  Panas matahari cukup terik sehingga terasa lega sekali pada saat memasuki workshop gerabah ini.  Kesan sempit saya rasakan pada saat memasuki ruangan yang diterangi dengan cahaya alami ini.  Wajar saja, ada 4 orang pengrajin yang sedang bekerja dan dikelilingi oleh banyak sekali gerabah yang sedang dikeringkan.  Saya hampiri orang terdekat di bagian kanan yaitu mang Biho.  Ia sedang mengerjakan sebuah gerabah berukuran sedang.  Untuk mengerjakan gerabah berukuran sedang ini ternyata tidak bisa sekali buat, tetapi butuh beberapa kali sambungan tergantung seberapa besar ukurannya.  Yang sedang dikerjakan mang Biho hanya membutuhkan satu kali sambungan (dua bagian).

 

Mang Biho sedang bekerja.

 

Biasanya apabila pada saat musim panas, gerabah kering dalam waktu 1 hari, tetapi karena musim hujan, gerabah membutuhkan waktu 2 hari untuk kering.  Apabila ingin disambung, bagian atas untuk menyambung harus ditutupi dengan plastik agar tetap basah sehingga bisa disambung.  Mang Biho mendemonstrasikan proses penyambungan ini dengan sangat trampil.

 

Bagian atas tertutup plastik, siap untuk disambung.

 

Proses pembentukan dari lempung menjadi sebuah gerabah.

Proses pembuatan gerabah sangat asyik untuk dilihat.  Ada beberapa macam teknik membuat gerabah, untuk membuat gerabah berbentuk silindris seperti ini biasanya digunakan teknik Throwing (putar) menggunakan alat putar yang disebut pelarik. Teknik ini cukup sulit, jari jemari harus sangat terlatih untuk membentuk lempung menjadi gerabah.  Dari lempung / tanah liat diambil sedikit demi sedikit dan kemudian dibentuk kedua tangan mang Biho bekerja dengan sangat harmonis, satu membentuk, satu lagi untuk menyeimbangkan.  Dalam hitungan menit, proses penyambungan pun selesai dan siap untuk dikeringkan lalu diteruskan ke proses berikutnya yaitu pembuatan pola atau motif sesuai permintaan.

Proses pembuatan pola ini dilakukan oleh mang Adro.  Setiap gerabah yang sudah kering / padat ini ditepuk-tepuk terlebih dahulu untuk meratakan bagian-bagian yang berjendol.  Setelah itu diukur lalu diukir dan dilubangi sesuai pola yang diminta.

Dipukul-pukul sambil diputar untuk mencari bagian yang berjendol.

Diukur sebelum diukir atau dilubangi.

Mang Adro mengukir sambil memutar gerabah.

Dilubangi setelah diukur menggunakan pengukur (di atas gerabah).

Setelah selesai, gerabah-gerabah yang selesai dikerjakan oleh mang Adro akan diperiksa kembali apakah sudah sesuai dan cukup kering untuk segera dibakar ke dalam kilnKiln (/kɪln/, jaman dulu dibaca  /kɪl/, huruf 'n' tidak disuarakan) adalah ruangan tertutup sejenis oven yang digunakan untuk mengeraskan atau mengeringkan.  Sayang sekali, pada saat kami tiba proses pembakaran sedang tidak dilakukan.  Setelah dibakar, lalu siap dilakukan pengglasiran (dicelup, disemprot, atau dikuas).  Setelah selesai, gerabah-gerabah berukuran sedang ini pun siap dikirim ke Eropa sedangkan yang berukuran kecil ke Korea Selatan dan Jepang.

Mang Biho dan mang Adro terlihat sibuk bekerja.

Salah 1 proses pengglasiran gerabah berukuran kecil-sedang

Pengglasiran gerabah berukuran kecil.

Kami pun meneruskan melihat-lihat ke ruangan di sebelah yang ternyata beda pemilik.  Kami menemui 2 orang pengrajin yang sedang membentuk gerabah berukuran kecil dan sedang mencampur lempung.  Saya bertanya-tanya kepada mang Ujang yang sedang mencampur tanah merah dan tanah hitam dengan cara menginjak-injak.  Menurut mang Ujang, tingkat kelembutan yang sedang dikerjakan adalah sesuai pesanan pengrajin pembentuk gerabah, semakin kecil gerabah yang dibuat semakin lembek yang dibutuhkan.

Mang Haris, pembentuk gerabah pun mengiyakan pernyataan mang Ujang bahwa tingkat kelembutan yang dicampur berdasarkan pesanannya.  Untuk gerabah kecil yang sedang dikerjakannya membutuhkan lempung yang lembut.  Mengerjakan gerabah kecil ini membutuhkan waktu sekitar 3-4 menit saja per gerabah.  "Kalau mau belajar 3 bulan paling udah mahir, cuma ya beda bentuk kudu belajar lagi", ujar mang Haris.

Bekerja berdampingan mempercepat proses pengerjaan gerabah.

Sayangnya di workshop anjun Haji Eman ini kami tidak menemukan gerabah berukuran besar dan mas Teguh selaku pemimpin grup pun mengajak kami berpindah tempat ke anjun berikutnya yang tidak begitu jauh bernama Sentra Keramik Mustika Bunda.  Tiba di tempat ini mas Teguh mencari ibu Haji pemilik tempat ini untuk meminta ijin tetapi ternyata tidak di tempat juga.  Kami pun meminta ijin kepada pengrajin yang ada disitu untuk melihat-lihat.  

Takjub.  Satu kata saja yang terlintas di benak saya melihat gerabah-gerabah berukuran besar yang sedang dikerjakan.  Tetapi yang lebih menarik adalah di kejauhan terdapat sebuah ruangan dimana di dalamnya terlihat berwarna merah menyala kecil dari kejauhan.  "Wah lagi bakar nih", pikir saya.  Saya pun bergegas kesana dan benar saja, lagi proses pembakaran.  Beruntung sekali kami bisa melihat proses ini.

Bahan bakar kayu karet digunakan untuk memanaskan kiln / oven yang bisa mencapai 900 derajat celcius ini.  Proses pembakaran menggunakan kiln rata-rata 24 jam.  Terdapat dua kiln yang berdampingan di ruangan ini.  Satu menyala dan satu sudah dimatikan dan gerabah-gerabah siap diambil.  Ruangan ini panas sekali akibat ada satu kiln yang sedang menyala.  Bahkan di sekitar kiln yang apinya sudah padam pun masih panas sekali.

 

Gerabah di dalam kiln yang siap dikeluarkan.

 

Gerabah dikeluarkan satu per satu secara hati-hati.

 

Gerabah selesai dibakar siap untuk dipercantik.

 

Setelah puas melihat proses pembakaran saya pun kembali ke ruangan yang terdapat di depan untuk melihat pembuatan gerabah berukuran besar.  Saya menemui mang Aep yang sedang sedang serius bekerja.  Pria berbadan tidak besar tidak kurus tapi kekar ini pun menyapa dengan ramah.  Sambil melap keringat yang membasahi dahinya dia terus menjawab pertanyaan saya sembari bekerja. Untuk membuat satu buah gerabah berukuran besar ini membutuhkan 3-4 hari tergantung seberapa banyak sambungannya.  Yang berukuran paling besar bisa sampai tujuh sambungan.  Kalau musim hujan membutuhkan waktu 2 minggu untuk kering dan apabila musim panas membutuhkan waktu hanya seminggu.  Proses pembakaran pun lebih lama dibandingkan gerabah berukuran sedang, membutuhkan waktu 2 hari 1 malam untuk dibakar.

Bagian dasar gerabah besar sedang dikerjakan.

Bagian dasar sudah selesai dan dipindahkan untuk proses selanjutnya.

Selain mang Aep ada pengrajin lain yang juga sedang bekerja namun karena keterbatasan waktu saya tidak sempat untuk mengobrol dengannya karena kami harus berpindah ke anjun berikutnya yang terletak cukup jauh.

Para pengrajin bekerja di apit oleh gerabah berukuran sangat besar.

Puas melihat-lihat di tempat ini kami pun mengucapkan terima kasih dan pamit kepada para pengrajin untuk bergegas ke lokasi berikutnya.  Lokasi terakhir yang kami kunjungi adalah anjun yang tepat di samping Masjid Baetulma’mur.

Di tempat ini pada dasarnya proses pembuatan gerabah hampir sama dan didominasi gerabah-gerabah berukuran kecil hingga sedang.

Salah satu pengrajin sedang mengerjakan gerabah berukuran sedang.

Gerabah-gerabah sedang dikeringkan.

Pengrajin sedang mengangkat gerabah kering yang siap dibakar.

 

Gerabah kecil yang mengantri untuk masuk kiln.

 

Bahkan pagar rumah pun terbuat dari gerabah.

Demikianlah proses pembuatan gerabah khas Plered.  Para pemilik anjun pun biasanya memiliki toko di depan untuk menjual hasil-hasil buatan mereka yang siap dijual untuk para turis maupun masyarakat sekitar.

Gerabah jadi yang siap dijual

Hari sudah cukup siang dan kami pun sudah lapar.  Kami mampir ke sebuah restoran untuk makan siang dan sekaligus berdiskusi hasil-hasil foto dan tulisan untuk segera di review oleh mas Teguh.

Saya sangat terkesan akan perjalanan ini, melihat semua prosesnya dari awal hingga akhir.  Cukup berkaitan dengan kehidupan kita sebagai manusia.  Segala proses harus kita lewati untuk menjadi 'bagus'.  Dibentuk dan dihancurkan jika kurang bagus, dipukul, 'dibakar', banyak proses menyakitkan yang harus kita lewati untuk menjadi 'seseorang' yang kita impikan.  Banyak dari kita ingin hasil akhirnya tapi kalau bisa melewati prosesnya.  Sepertinya tidak bisa.  Jalanilah hidup ini dan cinta segala prosesnya.

Semoga pembaca sekalian terbantu dengan informasi dari yang saya tulis dari perjalanan ini.  Jangan lupa untuk mampir ke Sentra Keramik Plered dan bisa juga sekalian jalan-jalan ke waduk Cirata Purwakarta.  Terima kasih kepada infofotografi.com dan mas Teguh Sudarisman untuk kesempatan yang luar biasa ini.

Foto bersama dengan mas Teguh Sudarisman di depan kiln.

Jangan lupa untuk subscribe ke newsletter saya untuk update info-info terbaru.

Terima kasih
Oktober, 2017


Wira Siahaan